Monday, December 19, 2011

Cerita Seorang Guru

 Cerita Seorang Guru

Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah, Didalamnya, dituntut pengabdian, dan juga ketekunan. Harus ada pula
kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga
mengajarkan. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang.Apalagi, menjadi guru bagi anak-anak yang mempunyai
“keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam
saja. Ada kenikmatan tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy (sindroma
gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas khusus bagi penyandang cacat. Kelas
itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya,

anak-anak disana berumur antara 9-12 tahun,tapi kemampuan mereka setara dengan anak berusia 4-5 tahun, atau
kelas 0 kecil.
Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun bentuk dan warna. Ada
teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan kepala yang konstan dari mereka. Ada pula
tangan-tangan yang kaku, yang sedang menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan
plastik. Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian anak yang beradu
dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu.Na mun, perasaan itu hilang, saat melihat seorang guru yang tampak
begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk, duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin
huruf,” begitu panggilnya kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas
merekasa mbil bermain. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami
Cerebral Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya melonjak-lonjak,
tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia pun juga tergelak tertawa. Tak
lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu menyusun angka dan huruf.
Susun-tempel-susun-tempel,begitu yang kami lakukan. Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini
tampak bergayut di tangan saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa
damai dan hangat.Se mentara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua
anak disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar. Dibimbingnya setiap jemari
dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung
jemari lemah itu. Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah membereskan beberapa permainan,
anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing. Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi
serapih-rapihnya. Tangan yang bersedekap diatas meja,dengan tatapan polos kearah depan, saya yakin, membuat
setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap anak untuk mengatupkan mata dan
memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat mata mereka semua terpejam.
Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat” kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti
dibanding dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju pintu keluar. Tampak
satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya. Ddduh, ada apa ini?

Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam, mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya,
mereka mencium tangan saya,sa mbil berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat
saya melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda mereka berderak-derak setiap
kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya. Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan
usaha mereka untuk sekedar mencium tangan saya.
Anak yang terakhir telah mencium tangan saya.Kini, tatapan saya bergerak ke samping, ke arah punggung anak-anak
yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya biarkan bulir itu jatuh, untuk
melukiskan perasaan haru dan bangga saya.Bangga kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang
mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi gurujuga bukan pekerjaan yang gemerlap. Tak ada
kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar,juga pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan
diri.Sebab mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.
Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya
kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar pendar-pendar sinar keikhlasan dan
ketulusan pada kerja yang mereka lakukan. Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati
anak-anak didik mereka.
Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru,
kita belajar budi pekerti, belajar mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang banyak
hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?
Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru. Rasakan kenikmatan saat setiap
anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu, dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada
sesuatu yang berbeda disana. Cobalah. Rasakan.

0 comments:

Post a Comment