Thursday, May 6, 2010

Pengorbanan Seorang Ibu

Tidak terasa dia sudah hampir lulus dari bangku sekolah menengah atas. April depan sudah harus menempuah ujian akhir nasional. Merupakan perjuangan berat bagi kebanyakan murid seusianya, Namun berbeda dengan miftah, dia sudah menguasai materi yang diberikan oleh gurunya jauh-jauh hari sebelumnya. Pantas saja, sejak SD sampai sekarang dia slalu menduduki peringkat nomor satu di kelas. Tanpa ada yang tahu bahwa dia menyimpan beban mental yang sangat berat karena memikirkan cita-citanya menjadi seorang dokter nampaknya hanya akan menjadi sebuah angan-angan . Melihat kondisi orang tuanya yang berpenghasilan pas-pasan. Bapaknya pak kardiman hanyalah seorang guru SD. Dan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga akan sangat mustahil untuk menyandang gelar Dokter mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk memperolehnya.


Satu bulan berlalu semenjak ujian akhir yang mendebarkan hampir semua siswa, termasuk miftah, pengumuman kelulusan pun tiba. Satu persatu siswa dipanggil namanya.
“Adi wibowo” lantang seorang guru memanggil nama tersebut sambil menyerahkan amplop kepada kepala sekolah untuk diberikan kepadanya.
Sampai pada giliran miftah.
“Muhammad Miftah Ansyori” terdengar jelas seorang guru memanggil.
Seakan sudah tahu hasilnya seorang guru memberikan selamat kepadanya. Kepala sekolah memberikan amplop sambil tersenyum sambil menjabat tangannya. Prestasinya serta keaktifannya dalam organisasi OSIS membuat namanya tidak asing lagi ditelinga para guru.

“Bu…, bu …, Aku mendapatkan nilai UAN terbaik se-Kotim,“ teriak miftah yang tergesa-gesa menutup pintu rumah. “iya nak, “ jawab ibunya terdengar lesu dari balik dapur.

Teriakan kegembiraan seperti itu tidak asing lagi ditelinga ibunya, karena setiap tahun miftah selalu mendapatkan juara. Tapi yang lebih membuat ibunya tidak bersemangat hari itu adalah cita-cita anak satu-satunya itu. Tiap malam ibunya selalu berdoa agar diberikan rezeki yang banyak agar anaknya dapat melanjutkan kuliah dikedokteran, namun doa saja tidak cukup untuk merealisasikan impiannya tersebut. Tanpa terasa air mata membasahi pipinya.

“Ibu.. ibu.. ib…”

tiba-tiba saja teriakan miftah terhenti saat melihat air mata ibunya membasahi kedua pipi yang sudah mulai keriput itu.

“Ibu menangis ya ?“ Tanya miftah dengan nada pelan.

Dengan cepat ibunya menyeka air mata dengan telapak tangannya saat menyadari kehadiran putranya.

“Maafkan ibu nak.”

“ Maaf untuk apa bu?” jawab miftah pelan.

“Ibu belum bisa mewujudkan cita-citamu.”

“tidak apa-apa bu saya bisa bekerja membantu ibu sambil mengumpulkan uang untuk kuliah” jawab miftah sambil memeluk tubuh ibunya.

“Tapi ibu akan berusaha semampunya nak, nanti akan ibu bicarakan dengan bapak mu sepluang dia kerja.“

“Terimakasih bu.” Sambil menyeka air mata yang meleleh begitu saja.
Mereka larut dalam kesediahan bercampur kebahagiaan.

Pagi itu pukul 09.00 WIB, Miftah sedang sibuk mencuci piring bekas sarapan di dapur. Ibunya berpamitan kepada miftah untuk pergi ke pasar membeli persiapan. Bapaknya sudah semenjak ba’da subuh pergi kesungai untuk memancing. Tanpa diketahui siapa pun termasuk suaminya, Ibu Kardiman pergi kerumah sakit RSUD. dr. Murjani untuk menanyakan sesuatu.

“Bu suster, kemaren saya mendapatkan selebaran bahwa di rumah sakit ini diperlukan donor ginjal ya?” kata bu Kardiman memperhatikam suster yang sedang berada dibalik ruang repsesionis.

“Iya benar ibu, kami sedang mencari donor ginjal kiri yang cocok untuk seorang pasien, “ jawab suster itu meyakinkan.

“Begini sus.. Saya datang ke sini bermaksud mendonorkan ginjal saya, apa saja ya sus persayaratannya “

“Pertama ibu isi formulir ini terlebih dahulu ya !,“ sambil resepsionis tersebut mengajukan sebuah kertas.

Ibu Kardiman tanpa basa-basi langsung meminjam bolpoint dan langsung mengisi formulir tersebut ditempat, kemudian menyerahkannya ke resepsionis tadi.

“Ibu siti Khadizah “ panggil resepsionis tadi dengan nada mencari.

“Ya sus?” jawab ibu Kardiman.

“Setelah diperiksa oleh dokter, persyaratan awal ibu sudah memenuhi, besok anda bisa kembali lagi untuk melakukan tes selanjutnya “ kata resepsionis dengan nada lembut.

Tiap pagi ibu Kardiman berangkat dari rumah dengan alasan belanja kepasar. Tes demi tes dijalankan dan ternyata hasilnya positif. Bu Kardiman optimis akan mendonorkan ginjal sebelah kirinya demi cita-cita anaknya. Karena dalam selebaran diterangkan bagi siapa saja yang mau mendonorkan ginjalnya dan cocok akan mendapatkan uang sebesar 60 juta rupiah sebagai uang pengganti pendonoran dengan biaya rumah sakit ditanggung oleh peminta donor.

Hari itu pagi sangat cerah. Operasi pun dilakukan dengan tanpa peretujuan anak dan suaminya. Ibu Kardiman beralasan pulang kampung menjenguk adiknya yang sakit, tentu saja adiknya telah diberitahu rencananya tersebut dengan sebuah surat. Yang pada awalnya menolak kemudan mengiakan.

Satu bulan pun berlalu Pak kardiman resah istrinya tidak kunjung pulang juga, kemudian memutuskan menyusul ke desa bersama miftah. Sesampainya di desa betapa terkejutnya adik ibu Kardiman melihat suami dan anak kakaknya itu menyusul ke desa. Kemudian dengan mata bercucuran air mata adik ibu kardiman itu pun menjelaskan apa sebenarnya yang menimpa ibu Kardiman. Tak terasa Bapak dan anak itupun juga berlinang air mata. Tanpa banyak Tanya lagi mereka pulang dan segera ke RSUD dr. Murjani. Di sana mereka dapati ibu mereka yang sudah agak membaik dari operasi, tetapi masih menggunakan infus berbaring lemah di kamar melati.

Berselang satu tahun dari itupun miftah kemudian mencoba mendaftar di fakultas kedokteran UGM dengan uang hasil donor ginjal ibunya. Semula Miftah menolak untuk kuliah namun karena paksaan ibunya dan alasan uang donor, miftah akhirnya menyerah. Dengan mengikuti seleksi SPMB Miftah mendapat nilai terbaik dan lolos masuk fakultas kedokteran UGM. Walaupun di Yogyakarta Miftah hanya tinggal di masjid sebagai pengurus masjid tetapi dia bahagia sudah bisa menjadi mahasiswa kedokteran. satu tekatnya ketika lulus ialah mencari donor ginjal untuk ibunya agar ibunya dapat hidup normal kembali memiliki dua ginjal.

Tahun-tahun pun berlalu. Sudah 5 tahun lebih miftah meninggalkan kampung tanpa pulang. Sekarang dia telah selesai menempuh kerja praktek dan telah mendapat gelar dokter.

Sepulangnya Miftah ke kampung halaman langsung disambut meriah oleh keluarga. Suasana bahagia bercampur haru menyelimuti miftah karena untuk pertama kalinya selama 5 tahun lebih melihat kembali keluarga yang dicintainya, khususnya ibunya. Pada saat wisudapun ayahnya tidak dapat menghadiri karena alasan menjaga ibunya yang sudah sering sakit-sakitan.
Sekarang Miftah telah menjadi seorang dokter dan bekerja di RSUD dr. Murjani juga sebagai dosen tetap di AKPER sampit. Karena sudah cukup matang dari segi biaya dan kesiapan dia ingin menepati janjinya mencarikan donor ginjal buat ibunya.

Hari demi hari menebarkan dan menempel selebaran akhirnya ada juga yang berminat mendonorkan ginjalnya karena tergiur iming-iming uang yang dijanjikan, namun tidak ada satu pendonor pun yang cocok. Sedangkan ibunya yang sudah tua semakin parah sakitnya karena hanya memiliki satu ginjal. Miftah pun terus berdoa di sholat malamya agar mendapatkan donor yang tepat untuk ibunya.

Hari itu hari senin seseorang yang tidak disangka-sangka datang ditengah keputus asaan miftah untuk mencari donor. Orang itu bermaksud mendonorkan ginjalnya. Dia seorang wanita separuh baya yang berpakain lusuh membawa anaknya yang berumur sekitar 10 tahun. Kemudian dilakukan berbagai tes terhadap wanita tersebut dan ternyata hasilnya positif.

“Ibu, kenapa ibu mau mendonorkan ginjalnya ” Tanya miftah kepada perempuan yang positif ginjalnya cokok dengan ibunya itu.

“ini untuk biaya makan dan uang sekolah anak saya nak dokter, saya tidak mampu berbuat apa-apa lagi, satu bulan yang lalu kaki kanan saya patah karena kecelakaan saya hanya bisa mengandalkan tongkat ini. Suami saya telah lama meninggal dan saya hanya hidup bersama anak saya ini.” Ibu itu menjelaskan dengan nada agak sedih.

Dua hari lagi operasi pendonoran ginjal dilaksanakan. Miftah menemui ibunya dan menjelaskan maksudnya untuk memberikan donor ginjal kepada ibunya. Namun awalnya ibunya menolak tetapi setelah dibujuk, ibunya mengiakan.

Sampai pada hari H dilaksanakannya operasi, para dokter telah bersiap di ruang operasi mempersiapakan peralatan. Miftah yang mendampingi ibunya di kamar tiba-tiba mendapat pertanyaan dari ibunya.

“nak, siapa yang akan memberi donor ginjal ke pada ibumu ini?. Sebelum operasi ibu ingin bertemu nak”

“anu.. anu.. dia tidak mau ditemui bu” Miftah dengan sedikit tergagap.

“Ibu tidak akan mau dioperasi nak sebelum bertemu dengan donor ibu “ tukas ibu Kardiman dengan nada mengancam.

“Baiklah bu, “ Jawab miftah lemas.

Dari balik pintu munculah sosok ibu yang mengenakan baju hijau rumah sakit dengan menggunakan kursi roda yang didorong oleh miftah dengan diikuti oleh seorang bocah anak dari ibu pendonor.

“ini bu orangnya .“ kata miftah dengan lembut.

“Masya Allah miftah tega-teganya kamu akan membiarkan seorang ibu lagi kehilangan ginjal sebelah kirinya “ tukas ibu Kardiman dengan nada penyesalan.

“Bukan maksud saya begitu, itu semua miftah lakuin karena miftah sangat sayang pada ibu. Miftah tidak ingin ibu yang selama ini berjuang untuk Miftah meninggalkan Miftah bu” jawab miftah dengan air mata menetes di pipinya.

“Kalo begitu ibu tidak jadi!” jawab ibu Kardiman marah.

“Jangan begitu bu, miftah sudah susah payah mencarikan donor buat ibu. Miftah hanya ingin berbakti kepada ibu.”

“Bukan begitu caranya berbakti nak, apa kamu tidak lihat anak kecil itu? apa kamu tega membiarkannya mengambil resiko kehilangan ibu? biarkan ibu hidup dengan satu ginjal saja sampai ibu mati, ibu tidak memerlukan balas budi nak. Kamu berhasil ibu sudah sangat senang dan berikan saja uang imbalan donor itu kepada ibu itu untuk menghargai ketulusannya” kata ibu Kardiman sambil melehkan air mata.

“Miftah menyesal bu, miftah akan menuruti semua perintah ibu .“ sambil linangan air mata terus membasahi pipinya.

0 comments:

Post a Comment