Thursday, May 6, 2010

Bila Buah Hati Tak Kunjung Hadir


From: Mailinglist Al-Sofwah
Kamis, 12 Nopember 09
Salah satu tujuan pernikahan adalah melahirkan generasi shalih yang
akan meneruskan kehidupan Bani Adam di muka bumi secara umum dan
mengemban tongkat estafet perjuangan umat dalam menyebarkan Islam
kepada alam semesta secara khusus. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul
sebelummu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan
keturunan.” (Ar-Ra’d: 38).

Lahirnya anak-anak bagi suami istri merupakan kebahagiaan yang tidak
tergantikan. Dapat segera menimang sang buah hati hasil dari cinta
kasih keduanya dalam sebuah ikatan suci setelah pernikahan merupakan
harapan yang sangat diimpikan. Kehadiran anak akan menjadi hiasan
indah bagi bangunan rumah tangga, tanpanya hati suami istri terasa
hampa, tanpanya kebahagiaan pernikahaan keduanya seakan belum lengkap
dan tanpanya rumah keduanya terasa sepi.
Namun ada satu perkara yang sudah dimaklumi bersama bahwa tidak
seluruh keinginan manusia dapat terwujud, karena hidup memiliki
Pengatur dan Penata, di tanganNya-lah segala urusan dipegang, maka
terkadang ada suami istri yang susah punya anak, padahal keduanya
sudah menikah beberapa tahun, bahkan telah menempuh segala upaya dan
cara, namun sang buah hati belum juga lahir.
Sedih dan gelisah rasanya, lebih-lebih ketika orang-orang dekat di
sekitar suami istri mulai menyodorkan pertanyaan yang menurut mereka
ringan, namun bagi suami istri merupakan pukulan keras, “Kapan bapak
menimang cucu? Kapan keponakanku hadir? Sudah sekian tahun kok masih
berdua saja?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada yang mungkin
maksud pengucapnya adalah menyemangati atau sekedar pemanis sapaan,
tetapi bagi yang bersangkutan, pertanyaan seperti itu bisa menjadi
beban yang sangat memberatkan.
Hal semacam itu sangat manusiawi, namun jangan sampai berlebihan
sehingga ia menjadi duri dalam rumah tangga yang mungkin mengarah
kepada keretakan rumah tangga. Sikapi hal ini dengan wajar dan
proporsional.
Pertama: Menyadari bahwa anak-anak adalah pemberian Allah Subhanu waTa’la
Allah Subhanu waTa’ala belum berkenan atau menunda pemberian tersebut
karena suatu hikmah bijak yang Dia ketahui dan semoga kita pun
berusaha untuk mengetahui. Ada apa dengan diriku sehingga Allah ‘Azza
waJalla belum berkenan atau Dia menunda pemberian ini? Bukankah
sebagai muslim kita meyakini bahwa apa pun yang Allah Ta’ala berikan
kepada kita atau ambil dari kita merupakan kebaikan?
Kedua: Menyadari bahwa anak-anak merupakan ujian dan tanggung jawab
yang tidak ringan,
Dengan asumsi bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak memberikan anak
kepada kita, berarti kita tidak memiliki tanggung jawab terhadapnya,
dan ini artinya beban kita lebih ringan.
Ketiga: Melihat kepada orang-orang yang tidak Allah Ta’ala beri anak
atau Dia menundanya.
Dengan hal itu, kita bisa sedikit terhibur, ternyata tidak sedikit
orang yang sama dengan saya dan mereka tetap bahagia. Karena
sebab-sebab kebahagian itu berjumlah bukan satu saja, anak hanyalah
salah satu sebab.
Coba kita tengok Nabiyullah Ibrahim al-Khalil, Allah Subhanahu
waTa’ala memberinya anak manakala yang bersangkutan dan istrinya sudah
tidak muda lagi, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Maka
Kami sampaikan kepadanya berita gembira kelahiran Ishaq dan dari Ishaq
akan lahir Ya’qub. Istrinya berkata, ‘Sungguh mengherankan, apakah aku
akan melahirkan padahal aku adalah wanita tua dan suamiku pun sudah
tua pula? Sesungguhnya ini merupakan sesuatu yang benar-benar aneh.”
(Huud: 71-72).
Ibrahim adalah Nabiyullah yang mulia, kurang apa beliau, meskipun
demikian Allah Ta’ala tidak memberikan anak kepadanya melainkan di
saat usianya tidak muda lagi, sekian lama menanti dan akhirnya
penantian itu pun tiba. Jika hal semacam ini Allah ‘Azza waJalla
tetapkan kepada beliau, tentu bukanlah suatu yang berlebihan jika hal
itu terjadi terhadap diri kita. Dan seharusnya kita mengaca kepada
hamba shalih tersebut.
Keempat: Bertawakal kepada Allah Ta’ala dengan menyerahkan masalah
kepadaNya semata.
Sikap tawakal merupakan salah satu senjata seorang mukmin dalam
menghadapi perosalan-persoalan sulit. Berapa banyak problem hidup yang
terangkat oleh sikap tawakal kepada Allah Ta’ala, tanpa terkecuali
problem kesulitan dalam mendapatkan keturunan. Allah Subhanahu
waTa’ala berfirman, artinya, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah
niscaya Dia akan mencukupkan keperluannya.” (Ath-Thalaq: 3). Sebuah
janji yang pasti dari Allah Ta’ala bahwa dia akan mencukupi kebutuhan
siapa yang bertawakal kepadaNya, tanpa terkecuali kebutuhan kepada
hadirnya anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
menceritakan kepada kita tentang seekor burung yang mendapatkan rizki
dengan berangkat pagi dalam keadaan perut kosong dan pulang sore dalam
keadaan perutnya penuh, dan ini karena kesungguhannya dalam bertawakal
kepada Allah Ta’ala, maka apalagi kita sebagai manusia yang memiliki
lebih banyak cara dan sebab, tentu kita lebih patut untuk mendapatkan
rizki, jika kita benar-benar bertawakal kepada Allah Subhanahu
waTa’ala, termasuk mendapatkan keturunan.
Namun jangan salah kaprah bahwa tawakal bukanlah berarti berpangku
tangan dan berdiam diri tanpa upaya dan usaha.
Upaya semaksimal mungkin dan usaha sebatas kemampuan adalah sisi lain
dari tawakal selain berpasrah diri kepada Allah Subhanahu waTa’ala,
ibarat mata uang yang pasti memiliki dua sisi, satu sisi tawakal
adalah kepasrahan dan sisi yang lain adalah usaha, jika mata uang
hanya memilik satu sisi saja maka ia tidak laku, demikian juga dengan
tawakal.
Maka berusahalah dan berupayalah sebatas kemampuan dan kesanggupan
kita sebagai suami atau istri. Silahkan berkonsultasi dengan ahlinya,
menjalani terapi tertentu, mengkonsumsi makanan tertentu atau
ramuan-ramuan tertentu, karena semua itu merupakan bagian dari tawakal
kita yang sebenarnya kepada Allah ‘Azza waJalla dan setelah semua
upaya sudah kita lakukan maka serahkan segalanya kepada Allah
Subhanahu waTa’ala.
Kelima: Bersabar.
Allah ‘Azza waJalla sedang menguji kita dengan menunda kehadiran anak,
ada kemungkinan Dia menyintai kita, karena jika Allah Subhanahu
waTa’ala menyintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Dan
dibalik ujian terdapat kebaikan dan pahala yang besar selama kita
menyikapi ujian tersebut dengan penuh kesabaran.
Keenam:Berdoa.
Doa adalah senjata seorang mukmin, pintu bantuan dan pertolongan yang
tidak pernah tertutup, terbuka non stop 24 jam bahkan sepanjang hayat.
Ketika kita sudah bertawakal dengan melakukan berbagai macam upaya,
selanjutnya memasrahkannya kepada Allah ‘Azza waJalla, maka tambahi
langkah tersebut dengan berdoa kepadaNya, mengetuk pintu karuniaNya,
semoga Dia berkenan membuka pintuNya untuk kita.
Nabi Ibrahim al-Khalil termasuk terlambat dalam mendapatkan anak dan
keduanya tetap gigih berdoa kepada Allah Subhanahu waTa’ala sehingga
harapannya terwujud. Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah
kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang shalih.” Apa jawaban
Tuhannya? JawabanNya, “Maka Kami memberinya berita gembira dengan
seorang anak yang sangat sabar.” (Ash-Shaffat: 100-101).
Ketujuh: Kalau kita pikir lebih mendalam ternyata di balik
keterlambatan hadirnya anak mengandung banyak pahala dari Allah
Subhanahu waTa’ala.
Kalau kita bersabar maka kita meraih pahala sabar. Kalau kita
bertawakal maka kita meraih pahala tawakal. Kalau kita berdoa maka
kita meraih pahala doa dan begitu seterusnya. Cobalah melihat kepada
sisi ini niscaya kehampaan rumah akibat belum hadirnya anak akan
terimbangi.
Kedelapan: Ini yang terakhir.
Mohon kita tidak tergoda oleh langkah-langkah yang menyimpang dari
ajaran agama atau cara-cara syirik untuk mendapatkan anak, tidak punya
anak bukan merupakan suatu dosa, lalu untuk apa kita harus bersusah
payah meraihnya dengan melakukan syirik kepada Allah Ta’ala?
Jangan menjadi bapak ibu yang rela berbuat syirik kepada Allah Ta’ala
demi kelahiran anak, hal ini Allah Subhanahu waTa’ala sebutkan dalam
firmanNya, “Tatkala Allah mengaruniakan mereka seorang anak laki-laki
yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal
anak yang Dia karuniakan kepada mereka. Mahasuci Allah dari perbuatan
syirik mereka.” (Al-A’raf: 190).(Izzudin Karimi)
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber.
http://priendah.wordpress.com/2009/11/14/bila-buah-hati-tak-kunjung-hadir/

0 comments:

Post a Comment