Saturday, October 13, 2012

MENGGERAKAN JARI KETIKA TASYAHUD


Oleh : Kelompok IV

Banyak dari kaum muslimin yang masih memperselisihkan masalah yang mestinya sudah jelas untuk dikerjakan. Diantaranya adalah tata cara menggerakan jari ketika tasyahud,. Sejatinya masalah ini telah berlalu sejak zaman Khulafa’ Rasyidin.
Para Ulama berselisih pandapat dalam masalah ini dan masing-masing pendapat dikuatkan dengan alasan masing-masing.
1.         Jumhur mengatakan tidak bolehnya menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud namun bila tetap dilakukan maka hukumnya menjadi makruh sedang sholatnya tetap sah.
2.         Haram untuk menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan batallah sholatnya. Akan tetapi pendapat ini lemah yang telah diriwayatkan oleh Abi Ali dari Abu Hurairoh Radhiyallahu 'Anhu.
3.         Disukai menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.
Yang berpendapat demikian adalah Syaikh Abdul Hamid al Bandaniji , Qodhi Abu Tolib dan selainnya.Mereka beralasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Wail bin Hujr Radhiyallahu 'Anhu bahwa beliau melihat salat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika tasyahud dan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata :
ثمَ رفع أ صبعه فرأته يحركها يدعو بها ( رواه البيهقى )
 Artinya :
“Kemudian aku melihat beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengangkat dan menggerak-gerakan jarinya lalu berdoa dengannya”.( HR Al Baihaqi )[1]
Sedangkan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Zubair Radhiyallahu 'Anhuma  bertolak dengan hadits diatas yang berbunyi :
أن النبيَ صلَى الله عليه وسلَم كان يشير بأصبعه اذا دعا لايحركها( رواه أبوداود )
Artinya :
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mngisyaratkan dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerak-gerakkannya”. ( HR Abi Dawud)[2]
Al Baihaqi mengatakan : Hadits ini mengandung kemungkinan bahwa maksud menggerakan jari disini adalah berupa isyarat saja tidak dengan menggoyang-goyangkan jari sehingga hadits ini bisa bersesuaian dengan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jubair Radhiyallahu 'Anhuma.[3]
Para Ulama sepakat untuk menggerakan jari ketika duduk tasyahud dalam sholat akan tetapi mereka berselisih apakah digoyangkan atau tidak.
Imam Malik berpendapat untuk menggerakan jari kekanan dan kekiri hikmahnya adalah mengingatkan orang yang sedang sholat sebab pangkal jari itu bersambung dengan hati sehingga hati ikut bergerak dengan begitu hati akan selalu bergerak dan ingat pada Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, hikmah lainnya adalah dapat menyakiti setan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, yang berbunyi :
Imam Ahmad berpendapat tidak menggerakan jari.[4]
Para ulama juga memperselisihkan tentang waktu menggerakan jari
Imam As Syafi’I berkata :Mengisyaratkan jari ktika mengucapkan الا الله dan tidak menggerakkannya serta mengangkat tangan hingga bangun untuk tasyahud awal dan salam ketika tasyahud akhir.
Imam Abu Hanifah berpendapat mengangkat jari ketika membaca لا الهdan meletakkannya kembali diatas paha ketika membaca الله الاmenangkat jari sebagi bentuk penafsiran dari Illah dan meletakkannya sebagai tafsiran dari penetapan atas Alloh Subhanahu Wa Ta'ala.[5]



[1] Al Baihaqi II : 132
[2] Aunul Ma’bud III : 280
[3] Al Majmu’ III 416
[4]Ibanatul Ahkam I: 328-329
[5]Fikih Ala madzahib Al Arbaah I: 240

HUKUM SHOF WANITA YANG BERADA DISAMPING SHOF LAKI-LAKI


By ADAM

Sholat berjamaah tidak wajib bagi seorang wanita berdasarkan ijma para ulama, akan tetapi mereka tetap disyariatkan untuk berjamaah. Sholat jamaah bagi seorang wanita ada dua macam;
  1. berjamaah bersama wanita lain, hal ini disyariatkan karena tiga perkara;
-          keumuman hadits yang menerangkan tentang keutamaan sholat berjamaah dan pada dasarnya waita adalah belahan jiwa seorang lelaki.
-          Tidak ada larangan bagi seorang wanita untuk tidak melakukan sholat bersama wanita lain.
-          Perbuatan para sahabat seperti Ummu Salamah
  1. berjamaah bersama laki-laki, baik wanita itu sendirian atau dengan jamaah yang lainya atau bersama laki-laki juga disyariatkan, dengan dasar beberapa hadits diantaranya hadits Anas, dia berkata," saya sholat bersama seorang yatim dibelakang Rasul dan Ummu Salamah di belakang kami"(HR.Bukhori Muslim)
·          Sebaik- baik shof bagi wanita adalah yang paling akhir
Dari Abu Huroiroh dia berkata,Rasulullah bersabda ," sebaik-baik shof bagi laki-laki adalah yang pertama, dan sejelek-jelek shof baginya adalah yang paling akhir. Sedangkan  sebaik-baik shof bagi wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jelek shof baginya adalah yang pertama" (HR.Muslim,Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah)
Shof akhir menjadi lebih baik bagi seorang wanita jika mereka sholat dibelakang shof laki-laki dan sekiranya mereka sholat bersama kaum wanita atau bersama seorang imam pada tempat yang terpisah dari laki-laki, maka secara dhohir adalah sebaik-baik shof bagi wanita adalah yang pertama.
·         Bagaimana hukum shof wanita yang berada disamping shof laki-laki?
Pada hakikatnya letak shof wanita adalah berada dibelakang shof laki-laki, akan tetapi ahli ilmi berpendapat bahwa tidak mengapa seorang laki-laki sholat dibelakang shof kaum wanita, tetapi hal ini menyelisihi sunah, karena sunahnya shof wanitalah yang harus berada dibelakang shof lelaki. Kecuali sebagaimana yang terjadi di di masjidil harom dikarenakan disana sesak dan sempit. Walaupun demikian yang terjadi seyogyanya hal ini untuk dihindari semampunya, walaupun fuqoha' telah menjelaskan tentang kebolehanya.(Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin,352-edisi Indonesia-)
Kesimpulan;
Tidak mengapa shof wanita berada disamping shof laki-laki dalam kondisi yang darurat, dikarenakan hal tersebut tidak bisa dihindari lagi. Ahli ilmi berpendapat bahwa yang demikian ini menyelisihi sunah, Akan tetapi sholatnya tetap sah. Namun, walaupun sholatnya sah seyogyanya yang demikian ini dihindari semampunya.

Marojie';
1.      Minhajul Muslimin
2.      Shohih Fikih Sunah
3.      Fatawa Lajnah Daimah
4.      Majmu' Fatawa Syaikh Ustaimin


MENJAMA’ SHOLAT



A.  Pengertian
 
Menjama' dua sholat ialah menggabungkan antara sholat dzuhur dengan sholat ashar secara taqdim diwaktu dhuhur atau sholat ashar dengan dzuhur sebelum habis waktu sholat ashar. Boleh juga menggabungkan keduanya secara takhir, yaitu mengakhirkan sholat dzuhur sampai waktu ashar tiba, kemudian sholat dzuhur bersama-sama dengan sholat ashar. Dan di perbolehkan menjamak atau menggabungkan sholat magrib dengan isya' secara takdim maupun takhir. ( Kitab fiqih 'ala madzahib al 'arba'ah : 1 / 438 ) .
Al Ghozali berkata bahwa menggabungkan antara sholat dzuhur dengan ashar dan atau magrib dengan isya' pada salah satu waktu diantara keduanya ketika dalam bersafar atau dalam kondisi hujan . ( Al fiqh Al Islami Wa adillatuhu : 2 / 350 ) .

HUKUM SHOLAT FARDHU DI KENDARAAN



HUKUM SHOLAT FARDHU
DI KENDARAAN
Oleh : Ja'far Al faruq

Apabila waktu sholat sudah tiba dan pesawat terus melaju, sementara seorang musafir takut kalau ketinggalan waktunya sebelum pesawat itu mendarat, maka ia wajib untuk melaksanakan sholat dipesawat dengan kondisi yang ia mampui saat itu. Sebagaimana firman Allah ta'ala :
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (QS. 64:16)

Rosululloh Shallallahu 'alaihi Wasallam  bersabda:  apabila aku perintahkan kepada kalian suatu perkara maka laksanakanlah semampu kalian

v  Pertanyaan 2
Bagaimana kalau seorang musafir tidak mendapatkan air atau air yang ia punyai tidak cukup untuk berwudhu atau ia tidak mendapatkan debu untuk bertayamum?

Jawab:
Apabila ia mendapatkan air maka ia berwudhu dengan air itu, kalau tidak mendapatkan air atau air yang ia punyai tidak cukup untuk berwudhu, maka ia tayamum dengan debu, kalau ia tidak menemukan debu maka ia tayamum dengan benda-benda yang ada ditempat itu selagi benda itu bersih (tidak najis).

Dalilnya.
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (QS. 64:16)
Sabda Rosululloh saw
"apabila aku perintahkan kepada kalian suatu perkara maka laksanakanlah semampu kalian"

v  Pertanyaan 3
Ketika seorang musafir sholat dikendaraan, apakah ia harus menghadap kiblat secara terus menerus sampai akhir sholatnya ataukah hanya ketika takbirotul ihrom saja?

Jawab:
Apabila ia mampu untuk melaksanalan sholat dengan menghadap kiblat secara keseluruhan maka hendaklah ia melakukanya, karena ia merupakan syarat sah sholat fardhu, tapi apabila tidak mungkin untuk menghadap kiblat secara keseluruhan sholatnya maka hendakmya ia menghadap kiblat semampunya.

Dalilnya.
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (QS. 64:16)
Sabda Rosululloh saw
"apabila aku perintahkan kepada kalian suatu perkara maka laksanakanlah semampu kalian"

v  Pertanyaan 4
Apakah ketika seorang musafir sholat disebuah kendaraan apakah ia harus melaksanakanya dengan berdiri ataukah boleh dengan duduk?

Jawab:
Tidak boleh melaksanakan sholat wajib dengan duduk dikendaraan ketika ia mampu untuk berdiri, dan dibolehlan ketika ia tidak mampu untuk melaksanakannya dengan berdiri.

Dalilnya.
·        وقومو لله قانتين
·    صل قائما فاءن لم تستطع فقاعد فاءن لم تستطع فعلى جنوبهم

v  Pertanyaan 5
Bolehkah sholat dikendaraan dalam keadaan takut turun dari kendaraan itu?

Jawab:
Sah sholat fardhu dikendaraan yang sedang berhenti dalam keadaan hujan atau takut sesuatu dibawah.

v  Pertanyaan 6
Mana yang lebih utama antara sholat wajib diawal waktu didalam kendaraan ataukan sholat wajib dilaksanakan ketika pesawat ataupu kendaraan sudah mendarat tapi diakhir waktu?

Jawab:
Yang lebih utama diawal waktu dan dibolehkan ketika pesawat sudah sampai diakhir waktu.

MAROJI'
  1. fatwa lajnah Ad-Daimah jilid 1
  2. fatwa-fatwa terkini jilid 1

Hukum orang yang meninggalkan sholat



Hukum orang yang meninggalkan sholat

           
           
            Orang yang meninggalkan sholat setelah ditinjau dari beberapa litelatur yang ada terbagi menjadi tiga keadaan yang melandasinya, sebagai berikut:
           
A. Orang yang meninggalkan sholat karena sengaja
        Menurut pendapat sebagian ulama, bahwa orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja, meskipun tidak mengingkari kewajibannya, maka dia telah kafir dan keluar dari millah atau ajaran islam. Dengan demikian pelakunya dimintai taubat selama tiga hari, jika selama tenggang waktu tersebut dia mau bertaubat maka selesailah perkaranya. Tapi jika dia enggan dan tidak mau bertaubat, maka dia dibunuh (Murtadan) sebagai seorang yang murtad. Dengan demikian dia tidak disholati, tidak dikubur dipemakaman kaum muslimin, tidak boleh mengucapkan salam kepadanya baik ketika hidup maupun ketika sudah meninggal dunia, tidak boleh menjawab salamnya, tidak boleh memintakan ampunan kepadanya, tidak boleh berkasih sayang dengannya dan dia tidak bisa mewariskan hartanya kepada ahli waris yang ada dan juga tidak berhak menerima harta warisan dari selainnya, melainkan hartanya dibawa kebaitul maal. Hal ini berlaku ketika dirinya meninggalkan sholat dengan kadar yang banyak maupun sedikit. dan hukum mengenai hal ini tidak berubah berdasarkan banyak dan sedikitnya dia meninggalkan sholat.[1]Hal dikuatkan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda,

Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdoa



 Hukum Mengusap Wajah
Setelah Berdoa

Mahmud Muhammad Khitob As Subki berkata di dalam kitab Ad Dinul Kholis: “Disunahkan bagi orang yang berdoa mengangkat kedua tangannya saat berdoa, dan mengusap mukanya dengan kedua tangannya setelah berdoa di luar sholat (sedangkan doa di waktu sholat tidak ditetapkan didalamnya mengusap muka setelah berdoa)”.
Hadits mengusap wajah setelah berdoa:
عن ابن عابس ان النبي ص م قال: سلو الله ببطون اكفكم ولاتسألوه بظهورها فإذا فرغتم فامسحوا بها وجوهكم (اخرجه ابواداود)
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda:”Mintalah kepada Alloh dengan kedua telapak tanganmu dan jangan meminta kepada-Nya dengan punggung telapak tangan, maka apabila kalian selesai berdoa, usapkanlah mukamu dengan keduanya”. (HR. Abu Daud 1485).
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Bulughul Marom: Hadits di atas mempunyai syawahid (persaksian) menurut Abu Daud dari hadits Ibnu Abbas dan yang lainnya”.

HUKUM MELAKSANAKAN SHOLAT JUM'AT DALAM BANYAK MASJID DISATU TEMPAT



HUKUM MELAKSANAKAN SHOLAT JUM'AT DALAM BANYAK MASJID DISATU TEMPAT.
Oleh; Mas'ud

Pada masa nabi saw sholat jum'at dipusatkan pada satu masjid yaitu masjid nabawi, pada hari jum'at seluruh penduduk madinah berbondong-bondong ke masjid nabawi untuk melaksanakan sholat jum'at. Di manapun mereka berada bahkan mereka yang tinggal di lembah-lembah ikut serta ke madinah tiap minggunya untuk melaksanakan sholat jum'at. Keadaan seperti ini berlangsung hingga masa kekhilafaan rosyidin.
            Keadaan diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan sholat jum'at idealnya di lakukan demikian. Karena dalil dari fi'li rasulullah saw[1]. Belum pernah ditemukan pada masa nabi –jika tidak ada halangan- sholat jum'at dilaksanakan di masjid qobilah (suku). Terdapat banyak faedah yang dapat diambil dari pelaksanaan sholat jum'at pada satu masjid disuatu wilayah, diantaranya:
a)      Sebagai bentuk ittiba' kepada rasulullah saw.
b)      Sebagai sarana untuk menyatukan kaum muslimin dibawah satu kepemimpinan.
c)      Menumbuhkan rasa kebersama'an, social dan persaudaraan antara kaum muslimin.
d)     Sebagai ajang untuk saling mengeratkan hubungan dengan perjumpaan itu sesama kaum muslimin.

Pelaksanaan jum'at di banyak masjid.
            Hari ini seiring berkembangnya masyarakat dan tersebarnya islam di berbagai belahan bumi, muncul perbagai problema berkenaan dengan sholat jum'at. Diantara problema yang sering terjadi adalah pelaksanaan sholat jum'at di banyak masjid yang berada dalam satu wilayah (desa). Sekilas permasalahan ini bertentangan dengan sunnah rasulullah saw.
a)      Permasalahan ini pernah diangkat ke dewan fatwa lajnah ad-daimah pimpinan Syaikh Abdullah bin Baaz. Dewan menjawab bahwa pelaksanaan sholat jum'at seperti diatas diperbolehka dengan catatan; hal itu memang karena ada alas an syar'ie seperti; Masjid yang jami' (induk yang biasa digunakan untuk sholat jum'at) sempit sehingga tidak mampu memuat jama'ah.
b)      Jika dilakukan dalam satu masjid akan timbul fitnah maka hal ini memperbolehkan kaum muslimin yang bersangkutan untuk melaksanakan sholat jum'at di masjid yang berbeda.
c)      Jarak yang sangat jauh[2]. Dan ada kesulitan untuk berkumpul.
            Kebolehan ini juga merupakan pendapat yang terkuat dikalangan madzhab Hanafiah, sebagaimana diungkapkan oleh imam as-Sakhrasi rhm[3] dan juga merupakan pendapat Ibnu Taimiyah rhm.
            Perlu dicatat, kebolehan melaksanakan jum'at dalam beberapa masjid disuatu kampung bukan berarti boleh melakukan jum'at dua kali dalam satu masjid, yang kedua ini tidak boleh. Bahkan jika memang disuatu daerah tidak didapatkan masjid kecuali satu dan masjid tersebut tidak cukup untuk para jama'ah. Maka diperbolehkan bagi sebagian mereka untuk melaksanakan jum'at di gedung-gedung atau tanah lapang[4].

Tidakkah bertentangan dengan perbuatan rasulullah saw.
            Pelaksanaan jum'at dibanyak masjid dalam suatu daerah sebenarnya tidak bertentangan dengan perbuatan rasulullah saw, karena:
a)      Pada masa rasulullah saw terkumpulnya manusia dalam satu masjid sangat memungkinkan apalagi keduduka rasulullah saw sebagai muballighi dari robb alam semesta, sehingga manusia saat itu ada keharusan untuk mendengarkan langsung hal itu kepada rasulullah saw. Berebda dengan kita hari ini dimana tuntunan unutk mendengarka satu khothb tidak ada.
b)      Dien ini mempermudah tidak mempersulit, maka jika ada kesulitan dalam melaksanakan ibadah harus dipermudah dalam kaedah dikatakan, "Al-Masyaqqoh tajlibu taisir" –Kesulitan itu mengharuskan kemudahan-. Uga hal ini bayak tertera dalam banyak ayat dan hadist.
c)      Ali juga pernah melakukan hal yag mirip seperti ini. Ceritanya; suatu kali Ali keluar memimpin manusia .melaksanakan sholat 'Ied, dan menyerahkan urusan sholat bagi mereka yang lemah kepada Abu Mas'ud al_Badariy agar beliau memipin mereka untuk sholat[5].




Maroji'
Fatawa lajnah ad-da'imah
Fatawa azhar
Hasyiyatul azhar.
Fataawa romli dll. Shamela Book


[1]  Fatawa lajnah ad-da'imah 8/257
[2]  Ibid 264
[3]  Hasyiatu raddil mukhtar 2/491
[4]  Fatawa lajnah ad-da'imah 8/263
[5]  Ibid 266